baiklah
orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian
memperoleh bahan pertimbangan (Ams. 1:5)
Dalam bagian ini ada
tiga ciri-ciri orang yang bijaksana:
1.
Suka
Mendengar. Terkadang kita menjadi orang Kristen, apalagi
orang yang mengerti banyak teologia, merasa diri kita tahu banyak, sikap kita menjadi
orang yang lebih banyak bicara daripada mendengar, lebih banyak kritik daripada
mendengarkan. Ini merupakan sebuah karakter yang tidak benar. Orang yang
memiliki bijaksana adalah orang yang suka untuk mendengar. Karena itu orang Kristen
banyak yang tidak bertindak bijaksana karena lebih banyak berbicara daripada
mendengarkan.
Karena
lebih suka berbicara maka kita menjadi orang yang lebih sering menyakiti orang
lain daripada memberkati orang lain. Perkataan kita seringkali seperti pisau
yang mengiris-iris hati orang lain karena merasa dihakimi oleh perkataan kita
yang tidak bertanggungjawab. Karena itu tidak mengherankan Yakobus meminta
orang-orang Kristen hati-hati dengan lidah kita karena lidah seperti iblis
didalam manusia yang sulit untuk dikendalikan. Manusia bisa menguasai monster,
bisa menguasa binatang buas sekalipun, tetapi siapakah yang bisa menguasai
lidah yang begitu mengerikan?

Seringkali
perkataan kita adalah sesuatu yang tidak nikmat karena kita terlalu cepat dan
terlalu sering untuk berkata-kata. Karena itu salah satu etika Alkitab adalah “Cepatlah
untuk mendengar tetapi lambat untuk berkata-kata.”
2.
Menambah
ilmu.
Orang yang bijaksana pasti adalah orang yang menginginkan hidupnya menjadi
orang yang bertindak benar, tidak salah melangkah, karena itu dia ingin
mempelajari berbagai macam pengetahuan untuk membuatnya memiliki banyak
pertimbangan di dalam memutuskan segala sesuatu. Seorang yang bodoh adalah
seorang yang malas. Baginya menambah ilmu adalah penderitaan. Orang bodoh
melihat hidup ini sudah begitu susah, bekerja begitu melelahkan, mengapa harus
menambah ilmu, mengapa harus memikirkan hal-hal yang sulit? Karena itu orang
bodoh tidak pernah memiliki hikmat di dalam hidupnya, dia tidak pernah mengerti
bagaimana memutuskan segala sesuatu di dalam kehidupan. Mengapa? Karena dia
tidak mau menambah ilmu di dalam kehidupannya.
Plato
adalah seorang yang ingin menjadi orang yang bijaksana. Dia berpetualang
mengarungi seluruh Yunani untuk mendapatkan ilmu dan mencari guru. Maka dia
belajar kepada seorang yang memiliki begitu banyak ilmu namun rendah hati:
Sokrates. Namun apakah sudah cukup bagi Plato? Belum. Dia pernah ingin pergi ke
negeri timur yang jauh yang dikabarkan ada orang-orang bijaksana yang mengerti
banyak hal, yaitu orang majus. Dia ingin menambah kebijaksanaan di dalam hidupnya.
Plato
ingin datang bertemu dengan mereka, sujud di bawah kaki mereka dan mendengarkan
pengajaran mereka. Inilah orang-orang majus.
Inilah karakter orang bijaksana, senantiasa ingin
menambah ilmu.
3.
Penuh
pertimbangan. Seorang yang bijaksana adalah
seorang yang tidak gampang memutuskan segala sesuatu. Dia adalah seorang yang
penuh dengan pertimbangan. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang tidak
terlalu gampang percaya dengan perkataan atau kabar dari atau tentang seseorang.
Dia adlaah seorang yang penuh dengan pertimbangan di dalam menilai segala
sesuatu. Dunia kita adalah dunia yang aneh. Mengapa? Karena terlalu susah
percaya tentang Tuhan tetapi terlalu gampang percaya dengan perkataan orang
lain. Karena itu gossip atau fitnah begitu gampang menyebar di dalam dunia ini.
Mengapa? Dunia ini lebih banyak orang yang tidak berhikmat daripada orang yang
berhikmat. Mereka tidak memiliki pertimbangan yang matang di dalam menilai
perkataan orang lain. Mereka langsung menganggap apa yang dikatakan tentang
orang lain sesuatu yang benar. Namun orang berhikmat adalah orang yang penuh
dengan pertimbangan. Dia mengerti menilai bukanlah sesuatu yang gampang, bukan
sesuatu yang bisa dilakukan di dalam satu atau dua detik. Dia harus meneliti
apakah benar informasi tersebut, apakah informasi yang disampaikan tersebut
komprehensif ataukah informasi itu memiliki kandungan kebencian yang ingin
menjatuhkan orang lain.
Selain
itu ketika dia ingin memutuskan sesuatu tentang kehidupannya, maka dia tidak
memutuskan berdasarkan emosional semata. Tetapi dia memutuskan berdasarkan pertimbangan
pengetahuan yang berasal dari Allah yang dia kejar dengan berbagai cara.
Seorang yang berhikmat tidak akan memutuskan sesuatu ketika dia berada dalam
kemarahan atau kesedihan yang mendalam dimana yang mengontrol seluruh
keberadaannya hanyalah emosi semata. Mengapa tidak boleh? Karena keberadaan
manusia bukan emosi semata, tetapi manusia memiliki kapasitas pengetahuan yang
diberikan oleh Tuhan sebagai salah satu pertimbangan di dalam memutuskan segala
sesuatu dihadadapan Tuhan.
Suatu
ketika di sebuah desa, ada seorang yang semasa hidupnya bercita-cita ingin
menjadi dewa. Ketika dia mendengar cerita tentang dewa, maka hatinya penuh
dengan emosi, dirinya dipenuhi perasaan menginginkan untuk menjadi dewa. Dia
mencari begitu banyak cara untuk menjadi dewa. Suatu ketika dia mendengar cerita
yang tidak tahu dari mana bahwa ada sebuah jamur yang bisa membuat orang menjadi
dewa. Jamur itu besar sekali dan warnanya indah, ada sembilan lapis. Mulai saat
itu dia penuh dengan emosi kebahagiaan dengan berita tersebut maka mencari ke
seluruh gunung jamur tersebut dengan tiada hentinya. Suatu hari ketika dia
mencari jamur tersebut, dia merasa kelelahan dan dia duduk di dekat pohon. Dia
melihat sebuah jamur yang berwarna emas, sangat besar, dan ada 9 lapis. Dia
kemudian begitu dipenuhi dengan perasaan bahagia dan berkata, “Ini pastilah
jamur tersebut.” Padahal dia sebenarnya sudah sering melihat jamur seperti itu.
Jamur itu adalah jamur yang beracun. Tanpa menimbang-nimbang lagi hanya karena
emosi semata dia membawa jamur tersebut. Dia membawa ke rumah lalu memasaknya. Dia
mengatakan kepada istrinya bahwa inilah jamur yang disebut-sebut sebagai jamur
yang bisa membawa orang menjadi dewa. Dia memasaknya. Tanpa menghiraukan
pengetahuan yang dia miliki sebelumnya bahwa jamur itu beracun, dia memakannya.
Perutnya terasa teriris-iris dan putuslah nyawanya. Anaknya yang melihat hal
tersebut karena dipengaruhi oleh ayahnya yang begitu emosional dia percaya
bahwa ayahnya sekarang meninggalkan raga dan menjadi dewa. Kemudian dia juga
memakan jamur tersebut, dan dia pun mati. Tanpa disadari karena tidak menimbang-nimbang
lagi maka mereka sekeluarga berebut untuk memakan jamur tersebut. Satu keluarga
bukan menjadi dewa tetapi mati dengan sia-sia tanpa pertimbangan.
No comments:
Post a Comment