Der Schrei der Natur (The
Scream of Nature) adalah judul yang Munch sendiri berikan kepada karyanya
ini. Seluruh keadaan gambar ini mengekspresikan sebuah keadaan kepiluan batin,
khususnya langit yang berwarna jingga tua.
Di dalam buku catatan hariannya, 22 Januari 1892, Munch menuliskan
bagaimana dia terinspirasi untuk membuat lukisan tersebut: “suatu sore ketika
aku berjalan disepanjang sebuah jembatan yang mana di satu sisi adalah kota dan
danau (fjord) di bawahnya. Aku merasa lelah dan sakit. Aku berhenti dan melihat
kepada sekitar fjord, matahari sedang terbenam, awan-awan berubah menjadi
berwarna merah darah. Aku merasakan sebuah teriakan yang disampaikan melalui
alam; sepertinya aku mendengarkan sebuah teriakan. Aku melukis gambaran
tersebut, melukiskan awan-awan sebagai sebuah darah yang sebenarnya….”
Ingatan ini dalam waktu kemudian diubah oleh Munch menjadi sebuah puisi:
“Aku sedang berjalan disepanjang jalan bersama kedua temanku – matahari sedang
terbenam – tiba-tiba langit berubah menjadi merah darah – aku terhenti, merasa
kelelahan, dan bersandar pada pagar – ada darah dan lidah api di atas fjord
yang berwarna biru hitam dan kota – temanku tetap berjalan, dan aku berdiri di
sana gemetaran di dalam kegelisahan – dan aku merasakan sebuah teriakan yang
begitu besar dan tak terbatas telah disampaikan melalui alam.”
Beberapa perdebatan arti dari lukisan “The Scream” ini:
1. Traumatis masa lalu: Beberapa
orang peneliti lukisan mengatakan bahwa latarbelakang awan yang berwarna merah
tersebut berasal dari ingatan traumatis dari efek yang begitu kuat dari letusan
gunung krakatau, yang mana ketika itu di beberapa belahan bumi Eropa, ketika
matahari terbenam langit menjadi berwarna merah. Dan hal ini terjadi selama
berbulan-bulan sepanjang tahun 1883-1884. Tahun itu adalah 10 tahun sebelum
Munch melukiskan The Scream. Munch melukis lukisan ini di dalam empat
versi. Versi keempat terjual seharga $119,922,600 oleh Leon Black. Lukisan ini
menjadi lukisan termahal kedua yang terjual di pelelangan lukisan. Karena keindahan
dan kemahalan dari lukisan ini, lukisan ini juga menjadi target para pencuri
kelas atas. Pada tahun 1994, lukisan versi yang dimiliki oleh National Galery
dicuri. Namun beberapa bulan kemudian ditemukan kembali. Pada tahun 2004,
bersamaan dengan lukisan Madonna, lukisan ini dicuri The Munch Museum, namun
dua tahun kemudian ditemukan.
2. Kritik modernisme: Lukisan ini
merupakan salah satu lukisan yang paling mengganggu, yang dihasilkan
disepanjang sejarah seni modern, yang melukiskan sebuah kekacauan dan kegelisahan
jiwa. Munch bermaksud, ketika dia melukiskan pertama kali pada 1893, untuk
mencatat “the modern life of the soul” yang sungguh pelik, dan penuh
kegelisahan. Di dalam masyarakat modern ini yang begitu cepat, multilayer, dan
kacau lebih dari sebelum-sebelumnya, “The Scream” telah hadir mewakili seluruh
kegelisahan umat manusia di dunia modern ini. Kita melihat pada lukisan
tersebut terlihat seorang yang melewati jembatan yang penuh kekhawatiran. Dia
menyeberang dari sebuah dunia yang sudah memiliki makna tersendiri kepada dunia
dimana manusia yang menentukan makna dari segala sesuatu. Namun perubahan dunia
ini berjalan dengan mesra bersama-sama dengan seluruh kegelisahan yang
diakibatkan oleh perubahan tersebut.
3. Anti-fatalisme. Munch berasal dari sebuah
keluarga yang begitu religius secara mendalam. Ayahnya adalah seorang dokter
miiliter, yang menekankan pekerjaan baik. Sebelum meninggal ibunya menuliskan
sebuah surat, “Kita, yang sudah dipersatukan oleh Allah bersama-sama, semoga
kita akan bertemu lagi di surga dan tidak terpisahkan lagi.” Setelah ditinggal
oleh isteri, ayah Munch menjadi seorang yang begitu fanatik dan menekankan
perbuatan baik. Ayahnya senantiasa membaca surat tersebut dengan keras kepada
seluruh keluarganya pada meja makan secara reguler; dan ayahnya senantiasa
mengajarkan anak-anaknya tentang kengerian neraka yang menunggu mereka jikalau
mereka tidak hidup di dalam jalan yang benar. Dalam suasana yang begitu
fatalistik inilah yang menciptakan worldview dari Munch. Setelah keuarganya
pindah ke Norwegia, maka Munch mendengarkan kotbah-kotbah yang ekstrim perihal
cinta, dari sebuah sekte agama lokal, yang dipimpin oleh Hans Jaeger. Cinta
yang begitu bebas, menolak keras monogami. Ketika guru tersebut dipenjarakan,
maka Munch mengirimkannya sebuah lukisan semi telanjang untuk menghibur sang
guru yang sedang dipenjara. Jadi, “The Scream” juga mewakili gambaran seorang
yang terisolasi atau teralienasi. Tetapi adegan tersebut terjadi di tempat
publik, bukan di sebuah tempat interior yang sepi. Emosi yang ditampilkan dari
lukisan tersebut menuntut perhatian kita untuk menjadikannya sebagai central
figure.
Terlepas dari seluruh perdebatan yang ada perihal arti dari lukisan ini.
Semua cara penafsiran di atas, bisa memberikan pesan kepada kita di dalam
menjalani kehidupan riil ini.
1. Trauma masa lalu. Pelajaran yang
kita bisa pelajari: Setiap orang memiliki pengalaman pahit bahkan traumatis
tersendiri di dalam kehidupan mereka. Namun, bagaimana meresponi pengalaman
tersebut adalah sesuatu yang penting. Tafsiran versi pertama memperlihatkan
bahwa Munch tidak melulu terjebak terhadap traumatis masa lalu, tetapi
meresponi hal tersebut dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih berguna,
bahkan lebih indah dan dapat dinikmati oleh banyak orang. Munch tidak
berespon sebagaimana tokoh The Punisher di dalam perihal traumatis. The
Punisher gagal merespon traumatis masa lalunya (keluarganya di bantai) dan
berubah menjadi manusia yang bengis dan kejam (kekejamannya terhadap para
penjahat tetap tidak dapat dibenarkan). Pengalaman traumatis The Punisher gagal
menjadi berkat bagi orang di sekitarnya. Dia berubah menjadi sebuah teror di
dalam lapisan masyarakat yang lain, dan juga mengangkat diri menjadi seorang
hakim terhadap yang lain.
2. Kritik modernisme. Modernisme di
dalam aspek negatifnya membawa masyarakat menjadi masyarakat yang restless.
Dunia berputar dengan begitu cepat, memiliki target-target yang harus diikuti
yang mana tidak pernah membawa rest kepada kepada kehidupan manusia. Hari sabat
diganti menjadi hari pemenuhan target. Modernisme mencuri hari yang harusnya
menjadi hak Tuhan dan hak manusia berdosa yang memerlukan Tuhan. Selain itu,
modernisme juga melihat produktivitas adalah standard dari manusia. Meskipun
produktivitas merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia sebagai gambar
dan rupa Allah, namun produktivitas modernisme disempitkan menjadi
produktivitas material: uang, benda, produk industri, dll – namun produktivitas
yang non-material tidak pernah dipertimbangkan sebagai sebuah produk gambar dan
rupa Allah. Seorang wanita “dipaksa” harus menjadi seorang yang berkarir dan
produktif secara material. Ibu rumah tangga dianggap sebagai sebuah hal yang
tabu, bahkan dosa. Padahal seorang ibu rumah tangga memiliki kesempatan besar
untuk memproduksi cinta kasih yang diberikan kepada keluarga: anak-anak dan
juga suami. Namun, modernisme menutup mata perihal ini dan tetap bersikuku
bahwa hal tersebut adalah dosa besar. Hal lain adalah: superioritas
individualisme. Setiap orang ditawarkan menjadi tuhan bagi kehidupan mereka
sendiri. Melalui sebuah “remote control” yang mereka dapatkan, maka mereka
menjadi self-sufficient dan penguasa. Kemudian materialisme melihat modernisme
memberikan sebuah ruang kesempatan yang besar dan menawarkan cara mudah mendapatkan
remote control tersebut, yaitu via “uang”. Kehidupan begitu pelik. Kehidupan
disimplifikasi menjadi faktor ekonomi semata. Segala sesuatu dinilai melalui
faktor ekonomi. Negara yang maju atau tidak, dihitung berdasarkan pendapatan
bruto. Maskyarat yang memiliki pendapatan rendah adalah masyarakat dunia
ketiga. Misalnya lagi, modernisme menawarkan a better place via perkembangan
teknologi. Namun, perkembangan teknologi tersebut membawa manusia sadar bahwa
modernisme adalah nabi palsu. Mereka melihat sang nabi palsu membawa dunia
kepada kekacauan yang begitu mengerikan yang dipamerkan melalui PD I
(1914-1918) dan PD II (1939-1945). Kompleksitas yang tidak perlu dari
modernisme tersebut membawa masyarakat kepada kegelisahan yang mendalam,
teriolasi dari kebahagiaan, dan kesendirian individualisme (teralienasi
ditengah-tengah keributan dunia).
3. Anti-fatalisme. Fatalisme bukanlah merupakan
solusi terhadap kesakithatian terhadap ajaran yang melulu berbicara tentang
anugerah non-responsif. Dunia Eropa pernah menjadi sakit hati karena pengajaran
“sola-sola” dari kekristenan. Dunia dibawa menjadi sebuah tempat sekumpulan
manusia yang diselamatkan tanpa perbuatan baik. Orang-orang Kristen dianggap
sebagai pewaris surga yang immoral, wakil Tuhan yang datang untuk mengacaukan
dunia. Respon terhadap hal ini hampir mewujudkan dirinya kepada di dalam bentuk
fatalisme: Pietisme. Mereka menekankan self-righteoussness, yang mana
sebenarnya adalah sesuatu yang perintahkan oleh Yesus sendiri sebagai tanda
murid Tuhan yang sejati (“…jikalau kebenaranmu tidak melebihi ahli Taurat
dan orang-orang Farisi…”), namun seringkali pengajaran tersebut membawa
kepada pengajaran bahwa manusia menjadi (getting in) kepada Kerajaan
Allah adalah melalui self-righteousness yang sebenarnya bukanlah
semangat yang memimpin Taurat. Taurat adalah anugerah, bukan alat mencapai
keselamatan. Namun, cara Munch membalikkan diri dari pengajaran fatalisme
tersebut, begitu mengecewakan. Munch masuk ke dalam pengajaran ekstrim kasih,
yang membawa sikap komromi terhadap kehidupan immoralitas sensual. Sebagaimana
pengajaran kekristenan yang sesungguhnya melihat bahwa keselamatan (getting
in) adalah anugerah semata. Namun ketika kita sudah berbagian di dalam (staying
in) Kerajaan Allah maka kita hidup taat kepada Tuhan. Sehingga benarlah apa
yang dikatakan oleh Yesus sendiri: Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup
keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
(Mat 5:20 ITB). Dengan bukti ketaatan kita, maka kita akan
mendapatkan future justification.
REFERENSI: