Agama seharusnya menjadi sebuah alat yang membuat
manusia menyadari kebaikan dan memampukan manusia untuk bisa membedakan apa
yang baik dan yang tidak baik. Membedakan disini bukan hanya sebatas
pengetahuan, tetapi juga berarti mempraktikkannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Seringkali kita sebagai seorang manusia yang secara tidak sadar
dipengaruhi oleh konsep dualisme Plato yang membedakan dua jenis dunia: ide dan
realita. Kemudian kita menempatkan agama atau ibadah di dalam ranah ide, dan menganggap
bahwa segala sesuatu yang bersifat ide adalah sesuatu yang tidak realistis,
yang sulit dijalankan di dalam realita, merupakan sebuah utophia. Sehingga
karena konsep pemikiran yang seperti ini maka kita tidak pernah memiliki semangat
yang besar untuk mempraktikkan ide-ide agama di dalam dunia realita karena
merasa bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang kontekstual di dalam kehidupan
kita.
Kerusakan manusia yang beragama dimulai dengan konsep
yang keliru ini. Tidak mengherankan manusia agama adalah manusia yang paling
munafik. Di tempat ibadah mereka seperti makhluk yang lebih rohani dari
malaikat, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari lebih jahat dari setan
sekalipun. Kita hanya menggunakan bahasa-bahasa agama hanya sebagai bahasa
latah, seperti yang kita sering dengarkan di dalam film-film Holywood : “Oh my God, Oh Sweet Jesus, etc..etc..”
padahal kehidupan kita jauh dari agama meskipun kita begitu paham konsep-konsep
agama tersebut. Mengapa? Karena kehidupan kita adalah kehidupan yang
mempraktikkan dunia Platonis. Dengan kata lain bahwa agama kita adalah Platonisme.
Agama dalam arti yang sesungguhnya adalah sebuah kepercayaan yang membuat
manusia untuk mengerti bagaimana cara menjalani kehidupan dihadapan Pencipta
dan dihadapan sesama. Jadi, bukan sekadar pengetahuan tetapi juga sebuah hal
yang dijalankan.
Sudahkah kita menjadi seorang yang beragama dalam
pengertian yang hakiki? Coba renungkan pertanyaan ini.
No comments:
Post a Comment