Tuesday 11 August 2015

Der Schrei der Natur (The Scream of Nature) - Edvard Munch



Der Schrei der Natur (The Scream of Nature) adalah judul yang Munch sendiri berikan kepada karyanya ini. Seluruh keadaan gambar ini mengekspresikan sebuah keadaan kepiluan batin, khususnya langit yang berwarna jingga tua.

Di dalam buku catatan hariannya, 22 Januari 1892, Munch menuliskan bagaimana dia terinspirasi untuk membuat lukisan tersebut: “suatu sore ketika aku berjalan disepanjang sebuah jembatan yang mana di satu sisi adalah kota dan danau (fjord) di bawahnya. Aku merasa lelah dan sakit. Aku berhenti dan melihat kepada sekitar fjord, matahari sedang terbenam, awan-awan berubah menjadi berwarna merah darah. Aku merasakan sebuah teriakan yang disampaikan melalui alam; sepertinya aku mendengarkan sebuah teriakan. Aku melukis gambaran tersebut, melukiskan awan-awan sebagai sebuah darah yang sebenarnya….”
Ingatan ini dalam waktu kemudian diubah oleh Munch menjadi sebuah puisi: “Aku sedang berjalan disepanjang jalan bersama kedua temanku – matahari sedang terbenam – tiba-tiba langit berubah menjadi merah darah – aku terhenti, merasa kelelahan, dan bersandar pada pagar – ada darah dan lidah api di atas fjord yang berwarna biru hitam dan kota – temanku tetap berjalan, dan aku berdiri di sana gemetaran di dalam kegelisahan – dan aku merasakan sebuah teriakan yang begitu besar dan tak terbatas telah disampaikan melalui alam.”
Beberapa perdebatan arti dari lukisan “The Scream” ini:
1.    Traumatis masa lalu: Beberapa orang peneliti lukisan mengatakan bahwa latarbelakang awan yang berwarna merah tersebut berasal dari ingatan traumatis dari efek yang begitu kuat dari letusan gunung krakatau, yang mana ketika itu di beberapa belahan bumi Eropa, ketika matahari terbenam langit menjadi berwarna merah. Dan hal ini terjadi selama berbulan-bulan sepanjang tahun 1883-1884. Tahun itu adalah 10 tahun sebelum Munch melukiskan The Scream. Munch melukis lukisan ini di dalam empat versi. Versi keempat terjual seharga $119,922,600 oleh Leon Black. Lukisan ini menjadi lukisan termahal kedua yang terjual di pelelangan lukisan. Karena keindahan dan kemahalan dari lukisan ini, lukisan ini juga menjadi target para pencuri kelas atas. Pada tahun 1994, lukisan versi yang dimiliki oleh National Galery dicuri. Namun beberapa bulan kemudian ditemukan kembali. Pada tahun 2004, bersamaan dengan lukisan Madonna, lukisan ini dicuri The Munch Museum, namun dua tahun kemudian ditemukan.
2.    Kritik modernisme: Lukisan ini merupakan salah satu lukisan yang paling mengganggu, yang dihasilkan disepanjang sejarah seni modern, yang melukiskan sebuah kekacauan dan kegelisahan jiwa. Munch bermaksud, ketika dia melukiskan pertama kali pada 1893, untuk mencatat “the modern life of the soul” yang sungguh pelik, dan penuh kegelisahan. Di dalam masyarakat modern ini yang begitu cepat, multilayer, dan kacau lebih dari sebelum-sebelumnya, “The Scream” telah hadir mewakili seluruh kegelisahan umat manusia di dunia modern ini. Kita melihat pada lukisan tersebut terlihat seorang yang melewati jembatan yang penuh kekhawatiran. Dia menyeberang dari sebuah dunia yang sudah memiliki makna tersendiri kepada dunia dimana manusia yang menentukan makna dari segala sesuatu. Namun perubahan dunia ini berjalan dengan mesra bersama-sama dengan seluruh kegelisahan yang diakibatkan oleh perubahan tersebut.
3.    Anti-fatalisme. Munch berasal dari sebuah keluarga yang begitu religius secara mendalam. Ayahnya adalah seorang dokter miiliter, yang menekankan pekerjaan baik. Sebelum meninggal ibunya menuliskan sebuah surat, “Kita, yang sudah dipersatukan oleh Allah bersama-sama, semoga kita akan bertemu lagi di surga dan tidak terpisahkan lagi.” Setelah ditinggal oleh isteri, ayah Munch menjadi seorang yang begitu fanatik dan menekankan perbuatan baik. Ayahnya senantiasa membaca surat tersebut dengan keras kepada seluruh keluarganya pada meja makan secara reguler; dan ayahnya senantiasa mengajarkan anak-anaknya tentang kengerian neraka yang menunggu mereka jikalau mereka tidak hidup di dalam jalan yang benar. Dalam suasana yang begitu fatalistik inilah yang menciptakan worldview dari Munch. Setelah keuarganya pindah ke Norwegia, maka Munch mendengarkan kotbah-kotbah yang ekstrim perihal cinta, dari sebuah sekte agama lokal, yang dipimpin oleh Hans Jaeger. Cinta yang begitu bebas, menolak keras monogami. Ketika guru tersebut dipenjarakan, maka Munch mengirimkannya sebuah lukisan semi telanjang untuk menghibur sang guru yang sedang dipenjara. Jadi, “The Scream” juga mewakili gambaran seorang yang terisolasi atau teralienasi. Tetapi adegan tersebut terjadi di tempat publik, bukan di sebuah tempat interior yang sepi. Emosi yang ditampilkan dari lukisan tersebut menuntut perhatian kita untuk menjadikannya sebagai central figure.

Terlepas dari seluruh perdebatan yang ada perihal arti dari lukisan ini. Semua cara penafsiran di atas, bisa memberikan pesan kepada kita di dalam menjalani kehidupan riil ini.
1.    Trauma masa lalu. Pelajaran yang kita bisa pelajari: Setiap orang memiliki pengalaman pahit bahkan traumatis tersendiri di dalam kehidupan mereka. Namun, bagaimana meresponi pengalaman tersebut adalah sesuatu yang penting. Tafsiran versi pertama memperlihatkan bahwa Munch tidak melulu terjebak terhadap traumatis masa lalu, tetapi meresponi hal tersebut dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih berguna, bahkan lebih indah dan dapat dinikmati oleh banyak orang. Munch tidak berespon sebagaimana tokoh The Punisher di dalam perihal traumatis. The Punisher gagal merespon traumatis masa lalunya (keluarganya di bantai) dan berubah menjadi manusia yang bengis dan kejam (kekejamannya terhadap para penjahat tetap tidak dapat dibenarkan). Pengalaman traumatis The Punisher gagal menjadi berkat bagi orang di sekitarnya. Dia berubah menjadi sebuah teror di dalam lapisan masyarakat yang lain, dan juga mengangkat diri menjadi seorang hakim terhadap yang lain.
2.    Kritik modernisme. Modernisme di dalam aspek negatifnya membawa masyarakat menjadi masyarakat yang restless. Dunia berputar dengan begitu cepat, memiliki target-target yang harus diikuti yang mana tidak pernah membawa rest kepada kepada kehidupan manusia. Hari sabat diganti menjadi hari pemenuhan target. Modernisme mencuri hari yang harusnya menjadi hak Tuhan dan hak manusia berdosa yang memerlukan Tuhan. Selain itu, modernisme juga melihat produktivitas adalah standard dari manusia. Meskipun produktivitas merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia sebagai gambar dan rupa Allah, namun produktivitas modernisme disempitkan menjadi produktivitas material: uang, benda, produk industri, dll – namun produktivitas yang non-material tidak pernah dipertimbangkan sebagai sebuah produk gambar dan rupa Allah. Seorang wanita “dipaksa” harus menjadi seorang yang berkarir dan produktif secara material. Ibu rumah tangga dianggap sebagai sebuah hal yang tabu, bahkan dosa. Padahal seorang ibu rumah tangga memiliki kesempatan besar untuk memproduksi cinta kasih yang diberikan kepada keluarga: anak-anak dan juga suami. Namun, modernisme menutup mata perihal ini dan tetap bersikuku bahwa hal tersebut adalah dosa besar. Hal lain adalah: superioritas individualisme. Setiap orang ditawarkan menjadi tuhan bagi kehidupan mereka sendiri. Melalui sebuah “remote control” yang mereka dapatkan, maka mereka menjadi self-sufficient dan penguasa. Kemudian materialisme melihat modernisme memberikan sebuah ruang kesempatan yang besar dan menawarkan cara mudah mendapatkan remote control tersebut, yaitu via “uang”. Kehidupan begitu pelik. Kehidupan disimplifikasi menjadi faktor ekonomi semata. Segala sesuatu dinilai melalui faktor ekonomi. Negara yang maju atau tidak, dihitung berdasarkan pendapatan bruto. Maskyarat yang memiliki pendapatan rendah adalah masyarakat dunia ketiga. Misalnya lagi, modernisme menawarkan a better place via perkembangan teknologi. Namun, perkembangan teknologi tersebut membawa manusia sadar bahwa modernisme adalah nabi palsu. Mereka melihat sang nabi palsu membawa dunia kepada kekacauan yang begitu mengerikan yang dipamerkan melalui PD I (1914-1918) dan PD II (1939-1945). Kompleksitas yang tidak perlu dari modernisme tersebut membawa masyarakat kepada kegelisahan yang mendalam, teriolasi dari kebahagiaan, dan kesendirian individualisme (teralienasi ditengah-tengah keributan dunia).
3.    Anti-fatalisme. Fatalisme bukanlah merupakan solusi terhadap kesakithatian terhadap ajaran yang melulu berbicara tentang anugerah non-responsif. Dunia Eropa pernah menjadi sakit hati karena pengajaran “sola-sola” dari kekristenan. Dunia dibawa menjadi sebuah tempat sekumpulan manusia yang diselamatkan tanpa perbuatan baik. Orang-orang Kristen dianggap sebagai pewaris surga yang immoral, wakil Tuhan yang datang untuk mengacaukan dunia. Respon terhadap hal ini hampir mewujudkan dirinya kepada di dalam bentuk fatalisme: Pietisme. Mereka menekankan self-righteoussness, yang mana sebenarnya adalah sesuatu yang perintahkan oleh Yesus sendiri sebagai tanda murid Tuhan yang sejati (“…jikalau kebenaranmu tidak melebihi ahli Taurat dan orang-orang Farisi…”), namun seringkali pengajaran tersebut membawa kepada pengajaran bahwa manusia menjadi (getting in) kepada Kerajaan Allah adalah melalui self-righteousness yang sebenarnya bukanlah semangat yang memimpin Taurat. Taurat adalah anugerah, bukan alat mencapai keselamatan. Namun, cara Munch membalikkan diri dari pengajaran fatalisme tersebut, begitu mengecewakan. Munch masuk ke dalam pengajaran ekstrim kasih, yang membawa sikap komromi terhadap kehidupan immoralitas sensual. Sebagaimana pengajaran kekristenan yang sesungguhnya melihat bahwa keselamatan (getting in) adalah anugerah semata. Namun ketika kita sudah berbagian di dalam (staying in) Kerajaan Allah maka kita hidup taat kepada Tuhan. Sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Yesus sendiri: Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Mat 5:20 ITB). Dengan bukti ketaatan kita, maka kita akan mendapatkan future justification.

REFERENSI:

No comments:

Post a Comment

Artikel Terpopuler

Saturn Devouring His Son - Fransico Goya (1819)

Salah satu lukisan yang paling mengerikan sepanjang sejarah: Saturn devouring his son yang dilukis oleh pelukis spanyol Francisco Goya (18...