16 Orang bijak berhati-hati dan menjauhi kejahatan, tetapi orang
bebal melampiaskan nafsunya dan merasa aman. 17 Siapa lekas naik
darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar. (Ams. 14:16-17)
Kemarahan adalah salah satu aspek
dari emosi manusia. Sehingga ketika berbicara tentang kebijaksanaan, maka
kemarahan adalah aspek yang tidak mungkin tidak harus dibahas. Bagaimana karakter
kemarahan dari orang bijak? Pada bagian ini dikatakan bahwa seorang bijaksana
tidak lekas naik darah/ marah. Firman Tuhan ini bukan bermaksud bahwa seorang
bijak tidak boleh marah. Tidak lekas marah, bukan berarti tidak boleh marah. Tentu
saja kemarahan adalah sesuatu yang ada di dalam kehidupan manusia, bahkan
menurut saya sesuatu yang harus ada. Apalagi ketika seseorang adalah seorang yang
bijak pasti harus marah. Mengapa?
1.
Seorang bijak adalah gambar dan rupa Allah.
Apa artinya gambar dan rupa Allah? Salah satunya adalah memiliki
karakter-karakter yang mirip dengan Allah. Allah adalah pribadi yang suci dan
dia senantiasa marah ketika kebenaran dan diri-Nya dipermainkan oleh dosa-dosa
manusia (Ul. 7:4; Maz. 78:31; dll – ada 51 ayat yang saya temukan, masih banyak
yang lain). Ketika kita membaca Rom. 1:18-32, maka kita melihat dengan jelas
gambaran Allah yang pasti senantiasa, setiap waktu murka terhadap manusia. Seorang
bijak adalah gambar dan rupa Allah yang sudah diperbaharui oleh Allah sendiri
sehingga ketika seorang bijaksana melihat kebenaran dan diri Allah dipermainkan
maka respon yang tepat adalah marah sebagaimana Allah marah.
2.
Seorang bijak adalah Kristus Kecil. Sekali
lagi saya ingatkan, di dalam membahas tentang karakter bijak, maka saya
asumsikan orang bijak di sini adalah seorang Kristen. Seorang bijak adalah
seorang Kristen. Apa itu Kristen? Kristen berarti Kristus Kecil. Arti kata ini mirip
dengan gambar dan rupa Allah, yaitu hidup seorang bijak mewakili Kristus yang sejati.
Kita membaca di dalam Alkitab bahwa Kristus berkali-kali marah dengan
orang-orang berdosa, khususnya dengan orang munafik seperti Farisi, ahli
Taurat, Saduki, dan Herodian. Di dalam Alkitab juga kita membaca bahwa Kristus
juga marah tehadap murid-Nya sendiri.
Namun,
meskipun orang Kristen harus marah, tidak semua kemarahan itu benar. Seperti
apa kemarahan yang tidak benar tersebut?
1.
Kemarahan yang jahat. Di dalam Amsal
14:16, dikatakan bahwa “Orang bijak
berhati-hati dan menjauhi kejahatan”. Ketika kita memperhatikan bahasa
aslinya, maka kalimat ini lebih berarti orang bijak takut dan menjauhi
kejahatan. Kata kejahatan di sini dikontraskan dengan kalimat selanjutnya: “tetapi orang bebal melampiaskan nafsunya”. Kata nafsu
di sini lebih berarti kemarahannya. Jadi, kejahatan pada kalimat pertama
sinonim dengan kemarahan pada kalimat kedua. Artinya tidak seorang bijak tidak
boleh marah yang jahat. Tidak semua kemarahan adalah jahat. Jikalau
semua kemarahan adalah jahat, maka Allah pasti jahat. Orang bijak hanya
dilarang untuk marah yang jahat.
Di dalam bahasa
Yunani, ada beberapa kata yang mewakili kata marah:
i.
Thumos:
kemarahan yang diluar kontrol. Biasanya kata ini digunakan kepada orang yang
belum diselamatkan atau iblis ketika marah (Why. 12:12). Kemarahan seperti ini
adalah kemarahan yang berdosa di mata Tuhan, karena kemarahan ini adalah kemarahan
yang begitu merugikan, menyakiti, bahkan bisa membunuh diri sendiri bahkan
orang lain. Selain alasan tersebut, kemarahan diluar kontrol adalah dosa karena
ini adalah sebuah sikap yang tidak berasal dari karakter Kristen, yaitu buah
roh. Salah satu buah roh adalah pengendalian diri. Beberapa tahun yang lalu ada
seorang Asia yang begitu depresi dan marah. Karena kemarahannya tidak bisa
dikontrol maka dia berniat untuk membunuh semua orang yang ada di dalam sebuah kelas
dengan cara menembaki orang-orang yang ada di di dalamnya.
ii.
Parorgismos:
kemarahan yang muncul dari perasaan iri hati atau cemburu. Kemarahan ini bisa
benar atau tidak. Allah cemburu ketika melihat umat-Nya menyembah berhala. Ini
adalah kemarahan yang benar. Tetapi ketika kecemburuan berakibat sebuah
tindakan dosa. Di China pernah terjadi sebuah kasus dimana seorang permaisuri cemburu
dengan istri muda Kaisar sehingga memotong tangan, kaki, dan membuat istri muda
itu kehilangan matanya. Ini adalah kecemburuan yang salah.
iii.
Orge:
kemarahan yang berasal dari keyakinan apa yang benar. Alkitab menceritakan
bahwa Yesus marah di bait Allah karena telah membuat bait Allah sebagai sarang
penyamun karena para pedagang telah merampok hak orang-orang non Yahudi untuk
beribadah di rumah Allah.
Jadi,
seorang bijak tidak boleh marah dengan kemarahan yang jahat seperti thumos:
kemarahan yang di luar kontrol dan kemarahan Parorgismos: kemarahan yang berasal dari kecemburuan yang salah. Namun
seorang bijak haruslah marah di dalam kategori orge. Bagi saya ketika seseorang mengatakan bahwa dirinya tidak
bisa marah, maka ada hal yang keliru di dalam kerohaniannya. Seorang yang
memiliki rohani yang baik pasti marah di dalam kategori orge karena dia adalah gambar dan rupa Allah yang telah
diperbaharui dan juga merupakan Kristus kecil.
2.
Kemarahan yang tidak pada waktunya.
Sebagaimana yang telah saya katakan tadi di bagian atas bahwa ketika kita
membaca Rom. 1:18-32, maka kita melihat dengan jelas gambaran Allah yang pasti
senantiasa, setiap waktu murka terhadap manusia. Namun ini bukan berarti Allah
lekas marah. Tetapi Allah marah di dalam waktu yang tepat: ketika kebenaran dan
kemuliaan-Nya dipermainkan. Waktu yang tepat ketika seseorang marah adalah
ketika seseorang dengan jelas mengerti bahwa pada waktu itu kebenaran Allah dan
diri Allah dipermainkan dan dihina. Ini adalah waktu yang tepat untuk marah.
Ini adalah sebuah tindakan yang bijaksana.
Kemarahan
yang tidak pada waktunya seringkali membuat kehancuran bagi diri sendiri
ataupun orang lain. Sebagaimana dikisahkan Sepasang suami isteri seperti
pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak untuk diasuh pembantu
rumah ketika mereka bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan berusia tiga
setengah tahun. Sendirian di rumah, dia sering dibiarkan pembantunya yang sibuk
bekerja. Dia bermain diluar rumah. Dia bermain ayunan, berayun-ayun di atas
ayunan yang dibeli papanya, ataupun memetik bunga matahari, bunga kertas dan
lain-lain di halaman rumahnya. Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dia
ingin membuat sebuah karya yang indah untuk menyatakan cintanya kepada ayah dan
ibunya. Dia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan tetapi karena
lantainya terbuat dari marmer, coretan tidak kelihatan. Dicobanya pada mobil
baru ayahnya. Coretan tersebut tampak jelas. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya,
gambarnya sendiri. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari si pembantu rumah. Pulang
petang itu, terkejutlah ayah ibunya melihat mobil yang baru setahun dibeli
dengan angsuran. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus
menjerit, “Kerjaan siapa ini?” Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu
berlari keluar. Pembantu terus mengatakan “Tak tahu… !” Si anak yang mendengar
suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia
berkata “Ita yg membuat itu papa…. cantik kan!” katanya sambil memeluk papanya
ingin bermanja seperti biasa. Si ayah yang hilang kesabaran mengambil sebatang
ranting kecil dari pohon bunga raya di depannya, terus dipukulkannya dengan
keras dan tanpa henti ke kedua tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti
apa-apa terlolong-lolong kesakitan sekaligus ketakutan. Si ibu cuma mendiamkan
saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Setelah kedua orang tua tersebut masuk ke
rumah, pembantu rumah menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dilihatnya telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan
berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiram air sambil
dia ikut menangis. Anak kecil itu juga terjerit-jerit menahan kepedihan saat
luka-lukanya itu terkena air. Si pembantu rumah kemudian menidurkan anak kecil
itu. Si bapak sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan
harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu. “Oleskan
obat saja!” jawab si bapak. Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak
kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si bapak konon mau
mengajar anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya
sementara si ibu juga begitu tetapi setiap hari bertanya kepada pembantu rumah.
“Ita demam…” jawab pembantunya ringkas.” Kasih minum obat penurun panas ,”
jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya.
Saat dilihat anaknya Ita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu
kamar pembantunya. Memasuki hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya
bahwa suhu badan Ita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik” kata
majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik.
Dokter mengarahkan ia dirujuk ke hospital karena keadaannya serius. Setelah
seminggu di rawat inap doktor memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada
pilihan..” katanya yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu diamputasi
karena gangren yang terjadi sudah terlalu parah. “Tangannya sudah bernanah,
demi menyelamatkan nyawanya kedua tangannya perlu dipotong dari siku ke bawah”
kata doktor. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata
itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan. Si ibu
meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si
bapak terketar-ketar menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari
bilik pembedahan, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis
kesakitan. Dia juga heran melihat kedua tangannya berbalut kasa putih.
Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia
mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si
anak bersuara dalam linangan air mata. “Papa.. Mama… Ita tidak akan
melakukannya lagi. Ita tak mau dipukul papa. Ita tak mau jahat. Ita sayang
papa.. sayang mama.” katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa
sedihnya. “Ita juga sayang Kak Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah,
sekaligus membuatkan gadis itu meraung histeris. “Papa.. kembalikan tangan Ita.
Untuk apa diambil.. Ita janji nggak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya
Ita mau makan nanti? Bagaimana Ita mau bermain nanti? Ita janji tdk akan
mencoret-coret mobil lagi,” katanya berulang-ulang. Serasa copot jantung si ibu
mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang
sudah terjadi, tiada manusia dapat menahannya.
Inilah
contoh kemarahan yang tidak tepat pada waktunya. Si anak adalah seorang yang
tidak mengerti apa yang dilakukannya adalah kesalahan, si anak belum pernah
diajarkan bahwa mobil adalah sebuah hal yang begitu berharga, si anak tidak
mengerti bahwa itu adalah jerih payah kedua orang tuanya. Bahkan anak tersebut
juga tidak mengerti apa itu jerih payah. Anak tersebut berbuat hal tersebut
bukan karena dosanya karena dia belum mengerti. Tetapi kemarahan kedua orang
tua yang tidak tepat pada waktunya tersebut bukan hanya merugikan diri mereka
karena mereka gagal mendidik si anak, tetapi merugikan diri si anak. Dia harus
kehilangan kedua tangannya karena kemarahan yang bodoh dari kedua orang tuanya.
No comments:
Post a Comment